Senin, 20 Oktober 2014

Warta Bola Portal Berita Terpercaya

PERAN ENZIM DALAM INDUSTRI PAKAN TERNAK

 Pengertian Enzim dan cara Kerjanya

Enzim terdapat secara alami pada semua organisme hidup dan berperan sebagai katalisator dalam reaksi kimia.  Istilah enzim mulai diperkenalkan pertama kali tahun 1878 oleh Kuhne yang mengisolasi senyawa enzim dari ragi sedangkan konsep kerja enzim dikembangkan oleh Emil Fischer di tahun 1894 yang mempopulerkan istilah “gembok dan kunci” untuk menjelaskan interaksi substrat enzim.


Saat ini lebih dari 3000 enzim telah diidentifikasi.  Seperti halnya protein, enzim juga tersusun dari rantai asam amino.  Enzim ini akan mempercepat reaksi kimia dengan cara menempel pada substrat dan keseluruhan proses reaksi akan stabil dan menghasilkan kompleks enzim substrat.  Dengan bantuan enzim ini, energi yang digunakan untuk menggerakan proses reaksi kimia menjadi lebih kecil.  Enzim akan bekerja pada kondisi lingkungan yang tidak mengubah struktur aslinya yaitu yang paling baik pada suhu dan pH menengah.



Alasan utama penggunaan enzim dalam industri makanan ternak adalah untuk memeperbaiki nilai nutrisinya. Semua binatang menggunakan enzim dalam mencerna makanannya, dimana enzim tersebut dihasilkan baik oleh biantang itu sendiri maupun oleh mikroorganisme yang ada pada alat pencernaannya.  Namun demikian proses pencernaan tidak mencapai 100 % dari bahan makanan yang dicerna, karena itu perlu ada suplemen enzim pada pakan untuk meningkatkan efisiensi pencernaannya.


Di dalam sistem produksi peternakan, pakan ternak menempati komponen biaya yang paling besar karena itu keuntungan peternakan akan tergantung dari biaya reltif dan biaya nilai nutrisi pada makanan.  Ada empat alasan utama untuk menggunakan enzim dalam industri pakan ternak (Bedford dan Partridge, 2001) yaitu:


Untuk memecah faktor anti-nutrisi yang terdapat di dalam campuran makanan.  Kebanyakan dari snyawa tersebut tidak mudah dicerna oleh enzim endogeneous di dalam ternak, dapat mengganggu pencernaan normal.

Untuk meningkatkan ketersediaan pati, protein dan garam mineral yang terdapat pada dinding sel yang kaya serat, karena itu tidak mudah dicerna oleh enzim pencernaan sendiri atau terikat dalam ikatan kimia sehingga ternak tidak mampu mencerna (contoh: pospor dalam asam pitat)

Untuk merombak ikatan kimia khusus dalam bahan mentah yang biasanya tidak dapat dirombak oleh enzim ternak itu sendiri.

Sebagai suplemen enzim yang diproduksi oleh ternak muda yang mana sistem pencernaannya belum sempurna sehingga enzim endogeneous kemungkinan belum mencukupi. 


Proses Pencernaan Hewan Ternak

Pencernaan adalah proses lanjutan dari pengambilan pakan (feed intake) oleh makhluk hidup  sebagai persiapan untuk proses penyerapan nutrien yang akan dimanfaatkan lebih lanjut oleh sel tubuh.  Dalam proses pencernaan terjadi perubahan fisik dan kimia yang dialami bahan makanan selama di dalam alat pencernaannya.

Proses pencernaan pada hewan pada dasarnya dibagi menjadi dua yaitu pencernaan hidrolitik atau enzimatis dan pencernaan fermentatif.

Pencernaan hidrolitik atau enzimatis: pencernaan yang dilakukan oleh enzim-enzim pencernaan. Pada pencernaan hidrolitik ini polimer dipecah menjadi monomer, misalnya karbohidrat dipecah menjadi glukosa, atau protein dipecah menjadi asam amino.

Pencernaan fermentatif: Proses pencernaan yang dilakukan atas bantuan mikroba. Pada proses pencernaan fermentatif zat makanan dirombak menjadi senyawa lain yang berbeda sifat kimianya sebagai zat intermediate.

Proses pencernaan pada hewan berbeda satu dengan yang lainnya dan sangat berhubungan dengan alat pencernaan yang dipunyai oleh hewan tersebut.  Perbedaan alat pencernaan hewan dapat dibedakan menjadi :

Pencernaan : Karnivora: kelompok hewan pemakan daging (makanan asal hewan), mempunyai gigi taring untuk mencabik makanannya, perutnya tunggal (monogastrik) dan sederhana

Herbivora : kelompok hewan pemakan tumbuhan. Alat pencernaan herbivora lebih panjang dan lebih kompleks serta telah mengalami modifikasi yang memungkinkan herbivora dapat menggunakan serat (selulosa dan polisakarida lain seperti hemiselulosa) dalam jumlah reletif banyak

Omnivora:  kelompok hewan yang memiliki berperut tunggal. Alat pencernaannya relatif lebih panjang, lebih kompleks dan cecum-colonnya (usus besar) lebih berkembang  karena sebagian pakannya adalah nabati yang mengandung serat.

Monogastrik: hewan berperut tunggal dan sederhana. Alat pencernaannya terdiri dari mulut, esophagus, perut, usus halus, usus besar dan rektum. Sistem pencernaannya disebut simple monogastric system.

Poligastrik: hewan berperut ganda (kompleks) seperti ruminansia sejati (hewan yang mempunyai rumen) yaitu sapi kerbau, kambing, domba, rusa, anoa, antelope dan pseudo-ruminant (onta, llama). Sistem pencernaannya disebut pollygastric system

Proses pencernaan makanan pada ternak ruminansia relatif lebih kompleks dibandingkan proses pencernaan pada jenis ternak lainnya. Perut ternak ruminansia dibagi menjadi 4 bagian, yaitu retikulum (perutjala), rumen (perut beludru), omasum (perut bulu), dan abomasum (perut sejati). Dalam studi fisiologi ternak ruminasia, rumen dan retikulum sering dipandang sebagai organ tunggal dengan sebutan retikulorumen. Omasum disebut sebagaiperut buku karena tersusun dari lipatan sebanyak sekitar 100 lembar. Fungsi omasum belum terungkap dengan jelas, tetapi pada organ tersebut terjadi penyerapan air, amonia, asam lemak terbang dan elektrolit. Pada organ ini dilaporkan juga menghasilkan amonia dan mungkin asam lemak terbang (Frances dan Siddon, 1993).

Termasuk organ pencernaan bagian belakang lambung adalah sekum, kolon dan rektum. Pada pencernaan bagian belakangtersebut juga terjadi aktivitas fermentasi.

Proses pencernaan pada ternak ruminansia dapat terjadi secara mekanis di mulut, fermentatif oleh mikroba rumen dan secarahidrolis oleh enzim-enzim pencernaan.


Pada sistem pencernaan ternak ruminasia terdapat suatu proses yang disebut memamah biak (ruminasi). Pakan berserat (hijauan) yang dimakanditahan untuk sementara di dalam rumen. Pada saat hewan beristirahat, pakan yang telah berada dalam rumen dikembalikan ke mulut (proses regurgitasi), untuk dikunyah kembali (proses remastikasi), kemudian pakan ditelan kembali (proses redeglutasi). Selanjutnya pakan tersebut dicerna lagi oleh enzim-enzim mikroba rumen. Kontraksi retikulorumen yang terkoordinasi dalam rangkaianproses tersebut bermanfaat pula untuk pengadukan digesta inokulasi danpenyerapan nutrien. Selain itu kontraksi retikulorumen juga bermanfaat untukpergerakan digesta meninggalkan retikulorumen melaluiretikulo-omasal orifice (Tilman et al. 1982).


PENGGUNAAN ENZIM DALAM PAKAN TERNAK

Penggunaan enzim dalam pakan ternak telah lama dipraktikkan. Informasi tersebut bisa diperoleh dengan memahami biokimia nutrisi. Sayang sekali, Anda tidak memberikan informasi bahan pakan yang digunakan serta tujuan menggunakan enzim. Informasi ini sangat penting sebagai pertimbangan dalam memilih enzim yang tepat.

Tujuan pemberian enzim sangat beragam. Antara lain untuk meningkatkan produsi ternak (pertambahan bobot badan dan produksi telur), meningkatkan efisiensi ekonomis dan produksi, mengurangi limbah kotoran ternak, menghindari produksi kotoran yang terlalu basah,sekaligus meningkatkan status kesehatan ternak.

Apapun tujuan Anda, yang harus diperhatikan adalah memahami kandungan nutrisi bahan pakan yang digunakan. Setiap bahan pakan memiliki kandungan nutrisi yang berbeda. Ada tiga hal yang harus diingat.

Pertama, sebagai nutrisi pakan baik sumber protein maupun sumber energitersimpan dalam dinding sel baik cellulose maupun hemicellulosa yang tidak tercerna oleh unggas. Kedua, dalam pakan biasanya terdapat komponen yang menyebabkan pakan dalam saluran pencernaan menjadi kental seperti lem (viscous). Kondisi ini bisa menghambat kecernaan dan penyerapan pakan untuk pertumbuhan. Beberapa komponen bahan pakan yang menyebabkan pakan menjadi kental seperti lem adalah beta glukan dan pentosan seperti pada dedak padi.

Ketiga, sebagian besar bahan pakan nabati mengandung anti nutrisi sepeti asam pitat ini mengikat protein, pati,dan beberapa mineral. Karena itu keberadaannya dalam pakan dapat menghambat kecernaan protein, pati dan beberapa mineral.

Saran kami sebaiknya Andamenggunakan produk multi enzim. Semakin banyak kandungan enzim dalam produk akan semakin luas kemampuannya meningkatkan kualitas pakan dari berbagai bahan pakan. Minimal, untuk mendapatkan enzim yang tepat, Andaharusmencari produk yang mengandung paling sedikit empat jenis enzim untuk mengatasi tiga persoalan diatas, yakni menghancurkan dinding sel dengan enzim cellulose, menurunkan viskositas dengan enzim pentosanase dan beta glukanase,dan menghancurkan anti nutrisi asam pitat dengan enzim phytase. Keempatjenis enzim tersebut harus ada dalam satu produk.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah aktivitas dan stabilitas enzim selama penyimpanan. Ini penting agar aktifitas enzim tidak rusak saat penyimpanan baik sebelum maupun setelah dicampur dengan bahan pakan lain. Andabisa melacak produk-produk enzim hasil penelitian dari internet. Informasi ini penting untuk melihat konsistensi khasiat sebuah produk enzim.

Alltech memiliki produk multi enzim dengan merek dagang Allzyme SSF. Produk ini tidak hanya mengandung empat jenis enzim tersebut di atas terapi juga mengandung enzim lain seperti (amylase, protease,dan pectinase). Enzim-enzim yang terdapat dalam produk Allzyme SSF (cellulose, pentosanase, beta glukanase, pectinase,dan pytase) dapat berfungsi meningkatkan kecernaan pakan, mengurangi kemampuan pakan mengikat air sehingga feces yang diproduksi tidak terlalu basah dan menigkatkan kesehatan ternak.

Sementara enzim amylase dan protease akan membantu enzim pencernaan menghancurkan protein dan pati yang merupakan komponen terbesar dalam ransum. Manfaat Allzyme SSF dapat meningkatkan produksi dan efisiensi ekonomis. Bapak dapat menambahkan Allzyme SSF sebanyak 150 gram/ton pakan. Penambahan Allzyme SSF dalam pakan ayam bisa memberikan manfaat maksimal mulai dari aspek produksi, ekonomis, lingkungan dan kesehatan ternak.

PERANAN CENDAWAN DALAM PENINGKATAN PRODUKSI SUSU

 Produksi dan kualitas susu sapi perah sangat ditentukan oleh kondisi fisiologis sapi, bobot badan, kualitas pakan. kondisi fisiologis sapi perah seperti periode beranak atau berumur dan bulan laktasi sangat berpengaruh pada fluktuasi produksi dan kualitas susu. bobot badan awal akan menentukan tingkat konsumsi pakan sapi perah, sedangkan kualitas pakan berpengaruh pada jumlah nutrien yang dapat dicerna akan diserap oleh tubuh. jadi bobot badan dan kualitas pakan akan menentukan jumlah nutrien yang tersedia sebagai bahan baku sintesis susu (Muktiani, 2004). protein, lemak dan laktosa adalah tiga nutrisi utama yang terdapat dalam air susu. protein dan laktosa kadarnya dipertahankan tetap di dalam susu, sedangkan lemak kadarnya berubah tergantung pasokan bahan baku sintesis lemak susu. 

 Sapi-sapi yang mendapatkan asupan probiotik yang mengandung Saccharomyses cerevisiae dan Bacillus spp terjadi peningkatan produksi susu sebesar 16,32%-17,29% pada kelompok ternak yang diberi asupan probiotik sebesar 15 gr, dan peningkatan sebesar 17,82%-19,76% pada kelompok ternak yang mendapatkan asupan probiotik sebesar 30 gr (Supriyati, 2010). Hal ini sejalan dengan yang dilaporkan oleh Widiawati  dan  Winugroho (2007) bahwa penambahan probiotik yang terdiri dari Bioplus,  S. cerevisiae dan Candida utilis pada pakan dapat meningkatkan produksi susu sapi perah sebesar 13%. Supriyati  et al. (2007) melaporkan bahwa pemberian onggok yang difermentasi dengan  Aspergillus niger dapat meningkatkan produksi susu sapi perah sebesar 3, 91 l/h dibanding kontrol (14.47 vs 10.56 l/h) di tingkat lapang probiotik Aspergillus niger.  Demikian pula Elghani (2007) pemberian 3 g ataupun 6 g  S. Cerevisiae pada pakan sapi perah yang berupa alfalfa dan jerami gandum dapat meningkatkan produksi susuu. Pada kambing perah Saanen pemberian S. Cerevisiae sebesar  0,2 g yang setara dengan 4 x 109 CFU per harinya dapat meningkatkan produksi susu sebesar 14,4%.

 Pengaruh suplementasi probiotik (s. cerevisiae dan a. oryzae) bermineral terhadap kualitas susu. pada penelitian  tersebut dilaporkan kadar lemak dan laktosa tertinggi dicapai oleh perlakuan penambahan probiotik bermineral Zn+Cr. Subiyatno et al. (1996), menyatakan bahwa Cr mampu meningkatkan konsentrasi IGF-1 yang berperan membantu meningkatkan uptake glukosa oleh sel kelenjar ambing. Seperti telah diketahui pada sintesis lemak susu pada ternak ruminansia ketersediaan glukosa tidak kalah penting dibandingkan ketersediaan asam lemak sebagai bahan baku sintesis susu. Glukosa juga merupakan sumber α-gliserol bagi sintesis lemak susu. selain itu melalui siklus pentosa fosfat glukosa dibutuhkan untuk mereduksi NADP+ sehingga menghasilkan NADPH (Collier, 1985). Telah dikemukan sebelumnya bahwa setiap pemanjangan 2 rantai C pada sintesis asam lemak dibutuhkan q molekul NADPH. berdasarkan hal tersebut diatas dapatlah dimengerti bahwa kadar lemak susu akan meningkat dengan meningkatnya pasokan glukosa ke dalam sel kelenjar ambing.

 Salah satu enzim yang bisa dihasilkan dari proses fermentasi cendawan adalah enzim lipase. Lipase merupakan kelompok enzim yang secara umum berfungsi dalam 1 hidrolisis lemak, mono-, di-, dan trigliserida untuk menghas ilkan asam lemak bebas dan gliserol (Falony, et al., 2006). Enzim ini juga digunakan dalam hidrolisis triasilgliserol (TAG) menghasilkan diasilgliserol (DAG) dan asam lemak bebas (Putanto, et al., 2006). Kapang Aspergillus niger merupakan salah satu sumber penghasil enzim lipase.  Aspergillus niger merupakan mikroba jenis  kapang yang dapat tumbuh cepat dan tidak membahayakan karena tid ak menghasilkan mikotoksin. Selain itu, penggunaannya mudah karena banyak digunakan secara komersial dalam produksi asam sitrat, asam glukonat da n beberapa enzim seperti amilase, pektinase, amilo-glukosidase dan selulase. Enzim lipase juga dihasilkan melalui dinding lambung yang bersifat sangat asam. Enzim ini dikeluarkan bersama dengan pepsin dan renin. Enzim pencernaan manusia ini berfungsi dalam proses metabolisme, yaitu memecah lemak menjadi asam lemak dan gliserol. Sehingga dengan adanya bantuan dari beberapa cendawan yang dapat menghasilkan enzim lipase ini maka akan lebih banyak lipid yang dapat dipecah menjadi asam-asam lemak, sehingga dapat juga meningkatkan kadar lemak di dalam susu. Banyak studi yang melaporkan bahwa kultur ragi dapat meningkatk an proses pencernaan  dalam rumen atau dalam seluruh saluran pencernaan. Peningkatan ini berhubungan langsung dengan adanya stimulasi pertumbuhan dan aktivitas mikroba dalam rumen. Dilaporkan bahwa kecepatan awal dalam  mencerna serat menjadi lebih cepat atau timelag untuk mencerna serat berkurang sampai 30% (Dawson, 1994). Williams et al. (1991) melaporkan bahwa pada 24 jam pertama inkubasi in sacco dalam rumen sapi, lebih banyak serat dicerna (naik rata-rata 13%) dengan penambahan kultur ragi dibanding kontrol. Strain  ragi  tertentu   dapat pula meningkat dan mempengaruhi kecepatan awal pencernaan serat. Walapun begitu total pencernaan serat seringkali tidak berbeda nyata antara penambahan kultur ragi dengan kontrol (Surhayadi et al., 1996; Wallace, 1996). Tidak semua studi memberikan hasil yang positif terhadap peningkatan serat. Dengan membandingkan berbagai jenis bahan pakan yang sering dipakai di luar negeri, terlihat bahwa silase jagung memberikan respon yang paling besar. Kecernaan bahan kering silase jagung meningkat dari 33% menjadi 42% dengan penambahan kultur ragi. Dalam  studi ini silase jagung mempunyai kecernaan bahan kering yang paling rendah di bandingkan dengan bahan lain yang diuji (Dawson, 1994). Studi ini sebenarnya sangat menarik mengingat di Indonesia pakan yang diberikan  lebih banyak mengandung serat dengan kecernaan yang tidak  terlalu tinggi. Studi ini perlu dikembangkan dengan uji pemberian pakan 

secara  langsung kepada ternak dengan waktu yang lama. 


Perubahan dalam rumen 

Peningkatan respon produksi karena penam bahan kultur ragi yang dilaporkan banyak dihubungkan dengan pengaruh ragi pada mikroorganisme di dalam saluran  pencernaan terutama pengaruhnya pada mikroorganisme rumen. Penambahan kultur ragi dapat memacu/menstimulasi pertumbuhan bakteri anaerob rumen lebih cepat sehingga populasi bakteri terutama bakteri selulolitik dan bakteri asam laktat meningkat. Dawson et al. (1990) mendapatkan peningkatan total bakteri sampai 10 kali lipat pada sapi yang diberi kultur ragi di bandingkan kontrol. Peningkatan yang lebih besar terjadi pada fermentasi secara in vitro dan peningkatan bakteri selulolitik lebih besar dari total populasi. Peningkatan populasi bakteri ini ternyata di pengaruhi oleh strain ragi dan jenis pakan. Peni ngkatan populasi bakteri tertentu akan merubah komposisi bakteri dan kondisi fermentasi rumen. Meningkatnya populasi bakteri selulolitik akan meningkatkan aktivitas selulolitik dan waktu yang dibutuhkan untuk mulai mencerna serat berkurang 30% dengan adanya ragi. Bila populasi bakteri asam laktat meningkat maka metabolisme asam laktat menjadi asam propionat ditingkatkan. Konsentr asi  asam laktat menurun sehingga pH rumen lebih  stabil. Peningkatan bakteri asam laktat dan konsentrasi asam propionat lebih besar (24,5  vs  22,8 mM) pada kultur kontinyu yang di beri ragi di bandingkan dengan kontrol.

 Rangkuman mekanisme kultur ragi dalam rumen ruminansia (sumber: Wina, 1999)



 Uraian sebelumnya memperlihatkan bahwa kultur ragi dapat meningkatkan populasi bakteri selulolitik dan bakt eri asam laktat dalam rumen. Penjelasan mengenai pengaruh ragi ini sebenarnya banyak yang belum jelas, apakah ragi itu sendiri yang menstimulasi bakteri rumen atau nutrien dalam kultur ragi yang memberikan pengaruh atau sebab lain. Ada tiga hipotesis yang dipaparkan oleh Wallace (1996) untuk menjelaskan hal ini.  


1. Tersedianya vitamin dan mineral

 Kultur ragi dan medium tumbuhnya banyak mengandung nutrien yaitu vitamin, mineral, dan asam amino. Kontribusi nutrien ini ke dalam rumen tentu dapat menstimulasi pertumbuhan bakteri. Selain nutrien dalam ragi diidentifikasi 

dua komponen yang dapat menstimulasi pertumbuhan bakteri rumen dalam kultur murni. Komponen yang pertama bersifat tahan panas sedangkan yang kedua sensitif terhadap panas. Identifikasi lebih lanjut terhadap sifat kimia dari kedua komponen ini masih berlanjut dan pengaruhnya terhadap populasi campuran  masih harus diuji.  

2.  Hipotesa asam dikarboksilat 

 Selain nutrien dan kedua komponen yang sudah diisolasi, ternyata dalam ekstrak ragi terdapat asam dikarboksilat yaitu asam malat yang juga menstimulasi pemanfaatan asam laktat dan mencegah fluktuasi nya pH larutan. Tetapi hipotesa ini agak disangsikan karena sedikitnya kandungan asam malat ini di dalam ragi (1%) dan apakah dengan jumlah yang sangat kecil akan memberikan pengaruh yang nyata dalam menstimulasi pertumbuhan bakteri. Ketika asam malat di ”infus” langsung ke dalam rumen, ada sedikit peningkatan jumlah bakteri selulolitik tetapi kecernaan serat tidak meningkat. 

3.  Hipotesa berkurangnya oksigen 

 Ada pendapat yang menyatakan bahwa fungsi yang sangat menguntungkan dari ragi adalah kemampuannya yang dapat menghilangkan oksigen di dalam rumen. Lebih dari 99% bakteri rumen bersifat sangat anaerob artinya sedikit saja oksigen masuk ke dalam rumen dapat merugikan proses fermentasi. Tetapi oksigen tetap masuk ke dalam rumen selama ternak makan dan ragi mempunyai aktivitas respiratory yang dapat menghi langkan oksigen. Hal ini akan  sangat membantu mempertahankan kondisi rumen untuk tetap anaerob dan secara tidak langsung memberi kondisi yang baik untuk bakteri rumen untuk memperbanyak diri.

 Dari hasil-hasil penelitian yang dikumpulkan, hanya ada dua penelitian tentang pemanfaatan ragi yang sudah dilaporkan di Indonesia dan ada beberapa penelitian diperguruan tinggi yang saat ini sedang berjalan. Hasil  penelitian invitro dilakukan pada kerbau (Surhayadi et al., 1996) dan pada sapi penggemukan (Winugroho et al., 1996) memberikan respon yang positif. Hasil yang sangat positif dari banyak penelitian tentang ragi adalah meningkatnya bakteri selulolitik dan asam laktat. Ternak ruminansia di Indonesia lebih banyak diberi kan bahan hijauan dari pada konsentr at sehingga penggunaan ragi dalam pakan mungkin sangat bermanfaat. Karena ragi lokal banyak digunakan di Indonesia untuk makanan bermacam-macam, maka studi pengembangan terhadap jenis-jenis ragi yang cocok untuk ruminansia serta pemanfaatannya untuk meningkatkan produktivitas ternak ruminansia masih sangat terbuka. 


0 komentar: