Senin, 25 Agustus 2014

Warta Bola | Portal Berita Terpercaya

Perjalanan dari Kota Yogyakarta menuju Desa Argorejo, Sedayu, Bantul dalam suasana panas terik dan sesekali diselingi beberapa jebakan macet, akhirnya tidak terasa melelahkan ketika menginjakkan kaki di kediaman Dwi Susanto yang masih bernuansa pedesaan. Apalagi setelah melihat beragam koleksi ayam hias hasil ternakannya, rasanya ingin berlama-lama untuk tinggal di sana, baik untuk bertanya-tanya seputar pengalamannya dalam duniabreeding ayam hias, atau juga sekadar melihat koleksi ayam hiasnya yang tergolong unik dan eksotik.
Dwi Susanto & Lady Amherst Pheasant
Dwi Susanto & Lady Amherst Pheasant
“Berprofesi sebagai breeder ayam hias sudah saya mulai sejak tahun 2006-an. Kejadiannya bermula ketika saya ikut serta dalam festival seni se-Indonesia yang diadakan di Makassar. Saat itu ada pertunjukan Ayam Ketawa. Terus terang ini pengalaman pertama saya melihat ada ayam berkokok tapi seperti orang ketawa. Karena unik serta menarik, saya beli sepasang. Niat awalnya sih sebagai koleksi untuk didengar di rumah, eh teryata beranak pinak. Pertama Saya tawarkan ke teman-teman dan kemudian ke para penghoby. Lama-lama kok menguntungkan. Akhirnya saya coba ternak ayam hias lainnya seperti Ayam Kokok Madura, Ayam Onagadori, Ayam Poland, Ayam Batik Kanada, Ayam Mutiara dan kini sedang merintis Ayam Pegar,” jelas Dwi Susanto pemilik sekaligus pendiri Prayitno Farm Yogyakarta memulai bincang-bincangnya dengan Media BnR.
Salah satu hasil ternakan Lady Amherst Pheasant
Salah satu breeding Prayitno Farm, Lady Amherst Pheasant

Berkat pengalamannya selama 5 tahun dalam menggeluti dunia breeding ayam hias, Dwi Susanto tidak mengalami kendala berarti dalam mengembangbiakkan Ayam Pegar. “Setiap ayam hias memiliki karakternya masing-masing dan dengan sendirinya membutuhkan perlakuan berbeda pula dalam pembudidayaannya. Seperti Ayam Onagadori, akan efektif berproduksi jika pejantan 1 dipasangkan dengan 1 betina dalam satu kandang. Berbeda dengan Ayam Onagadori, Ayam Mutiara akan efektif berproduksi dalam kandang koloni. Beda lagi dengan Ayam Pegar yang darisono-nya sudah ditetapkan memiliki siklus produksi hanya dua kali dalam setahun yaitu sekitar bulan April – Mei dan pada akhir tahun sekitar Oktober hingga Desember,” terang Dwi Susanto yang kini dikenal luas sebagai praktisi peternakan.
Ringneck Pheasant Jantan & Betina Produktif Milik Prayitno Farm Yogyakarta_
Untuk mensiasati siklus produksi yang tidak setiap saat itu, Dwi Susanto menempatkan 1 pejantan dengan 2 hingga 3 ekor betina. Penjodohannya dapat dilakukan dalam kandang berpagar strimin. Ukuran panjang lebarnya kurang lebih 2 M x 3 M dengan tinggi minimal 2 M. tempat bersarangnya bisa terbuat dari kayu berbentuk kotak ataupun besek (keranjang kecil).
Telur Golden Pheasant. Ukuran& Bentuk Tidak Jauh Berbeda Dengan Telur Ayam Kampung_
Telur Golden Pheasant. Ukuran& Bentuk Tidak Jauh Berbeda Dengan Telur Ayam Kampung
Adapun untuk pakannya cukup diberi dedak dengan campuran jagung giling dan sedikit air. “Pakan Ayam Pegar tidak istimewa kok. Tidak seperti memelihara dan beternak kucing hias yang harus diberi makanan import. Ayam Pegar cukup diberi makanan dalam wujud bekatul dengan campuran jagung giling ditambah air secukupnya serta secara berkala diberi buah-buahan berupa pepaya. Pepaya yang diberikan juga tidak harus tertentu. Pepaya lokal yang tumbuh di pekarangan rumah pun disenangi,” tegas pria yang masih kuliah di ISI Yogyakarta ini.
Bila proses penjodohannya lancar, sekali berproduksi dapat menghasilkan 20 hingga 30 butir telur dengan persentase menetas 80 sampai 90 persen. Kendala inilah yang membuat harga Ayam Pegar masih dibadrol tinggi. Anakan usia 3 sampai 5 bulan sudah dibandrol sekitar 5 jutaan. Sedang untuk dewasa usia sekitar 8 hingga 1 tahun sudah tembus di harga 8 jutaan hingga 10 jutaan. “Terus terang, permintaan Ayam Pegar dari hari ke hari melonjak naik. Kadang belum netas alias masih telur sudah diborong orang. Tidak hanya dari dalam negeri, dari negeri tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Thailand pun belum bisa saya penuhi,” ucap Dwi Susanto yang kini lebih menikmati peran sebagai praktisi peternakan daripada seniman pertunjukan

0 komentar: